Powered By Blogger

Rabu, 23 Februari 2011

CERPENKU

DITYA
YCizka

Ditya langsung menatapku dalam-dalam. Matanya berbinar. “Kamu udah makan, Fre?”
Aku menggeleng. Tegang menunggu lanjutan dialog selanjutnya.
“Cari makan bareng aku, yuk?! ajak Ditya, seolah lupa bahwa aku sedari tadi berjalan berdua dengannya hanya karena suatu kebetulan. Kemudian terjadi obrolan yang memang hanya sekedar basa-basi.
Aku lagsung speechless. Kakiku seolah mengambang, tak menapak tanah. Untuk sesaat aku seolah tak sadar sedang berada dimana, saking girangnya. Tak menyangka, cowok manis berbadan tegap yang beberapa hari ini mengusik pikiranku,  bersikap seakrab ini padaku.
“Awas, truk…!!! Freya, minggir!!!” Ditya menarikku ke pinggir jalan. Badanku terseret mengikuti gerakannya. Karena tak melihat situasi di sampingnya, tak sengaja kaki Ditya kesandung batu. Bruk! Ditya terjatuh dan badanku menindihnya. Tak lama kemudian truk di belakangku lewat dengan kecepatan tinggi. Aku selamat.
Kejadiannya begitu cepat. Aku tak tahu akan jadi apa aku tadi kalau saja Ditya tak reflek menarikku ke pinggir.
“Fre, kamu nggak pa-pa?” Ditya masih di bawah badanku, bertanya.
Badanku menggigil. Mataku menatapnya tanpa berkedip. Tegang. Entah karena kejadian yang nyaris merenggut nyawaku…, atau karena badanku dan badan Ditya yang sekarang tak berjarak sama sekali.
*****
Ditya segera membawaku ke sebuah tempat makan yang tak jauh dari sekolah.
“Minum dulu, Fre,” Ditya menyodorkan segelas es cappuccino kepadaku.
Aku menerima gelas yang disodorkan Ditya. Aku tersenyum. Berusaha mendinginkan kepala dan menenangkan gemuruh di dada. Setelah cukup tenang, kudekatkan mulutku ke bibir gelas dan kuseruput minuman favoritku itu.
Aku meneguk cappuccino dalam gelas itu sampai setengahnya. Aku mendongak. Kudapati mata Ditya yang sedari tadi menyorotku penuh kecemasan.
“Muka kamu masih pucat, Fre. Kamu ketakutan sekali ya, tadi?!” Ditya menyentuh pipiku. Aku merasakan kehangatan tangannya. Berharap tangan itu terus berada di sana. “Makanya kalau jalan, jangan nglamun. Nglamunin apa sih, tadi?”
“Nglamunin kamu!” jawabku, yang pastinya hanya dalam hati saja. Lalu kataku, “Makasih ya, Dit. Kamu udah nolongin aku tadi. Kalau nggak ada kamu, nggak tahu deh, udah jadi apa aku tadi.”
Ditya mengangguk. Memamerkan senyum simpatiknya. “Oh iya, kamu mau makan apa?”
“Aku menggeleng. Mana mungkin aku bisa menelan makanan, sementara Ditya duduk di hadapanku, menguliti badanku utuh-utuh dengan matanya yang teduh itu?! Menelan minuman saja tenggorokanku seakan tercekik.
*****
 Hari ini hari terakhir Ujian Semester Akhir. Setelah sebelumnya kita melaksanakan UNAS dan Ujian Praktek. Jam 11 siang aku pulang. Dan surprise… Ditya mengantarku sampai ke rumah. Dia baru pulang sesaat setelah adzan ashar dikumandangkan. Bisa dibayangkan bagaimana kelaparannya aku karena sejak kemarin sore hingga sore ini aku belum makan. Kemarin aku tak sempat memasukkan sebutir nasi pun ke dalam perutku karena sibuk mempersiapkan untuk ujian hari ini. Tapi kini protes keras dari perutku seakan sirna. Semua terbayarkan dengan kehadiran Ditya di sampingku.
Setelah mandi, aku kenakan mukena yang terlipat rapi di samping sajadah. Kudirikan shalat magrib sebagai tanda rasa syukurku atas segala kenikmatan yang telah Dia beri sepanjang hari ini, disamping karena itu adalah kewajibanku sebagai orang muslim.
Malam harinya aku tak bisa memejamkan mataku. Bayangan Ditya terus merasuki pikiranku, terus menyebar hingga hampir  ke seluruh organ di tubuhku. Betapa hangatnya kebersamaanku tadi bersamanya. Tawa terurai lepas tanpa paksaan saat kami saling bicara. Beradu cerita masa kecil yang penuh kelucuan dan kepolosan. Kami nampak begitu akrab meski belum genap seminggu aku dekat dengannya. Gambaran-gambaran itu mulai memudar. Mataku seakan berkabut dan akhirnya tak ada satupun yang dapat kulihat. Aku tertidur.
*****
Sampai di sekolah, aku dibuat kaget melihat Ditya sudah berdiri di pintu gerbang. Dia menatapku dengan matanya yang teduh. Senyumnya mengembang ke arahku. Sedang menunggukukah dia?!
“Hai, Fre. Udah sarapan belum?” Tanya Ditya padaku. Ternyata benar…, dia memang sedang menungguku.
“Belum,” jawabku pendek. Aku memang tak biasa sarapan. Bisa telat sampai sekolah kalau aku nekad makan. Untuk mandi, shalat, dan persiapan berangkat sekolah saja sudah cukup membuatku tergesa-gesa.
“Sarapan di kantin, yuk?!” ajak Ditya.
Aku terbengong, lalu berucap “Ngaco, kamu! Beberapa detik lagi bel masuk bunyi.”
Mendengar ucapanku Ditya spontan tertawa kecil. “Udah nggak ada ujian, kan?!”
“Ha? Ya ampun…. Aku lupa kalau hari ini kita udah bebas,” kataku dengan ekspresi malu dan agak salah tingkah.
Sret! Tiba-tiba Ditya meraih tanganku, menggandengku dengan fasih, seolah kami sudah biasa bergandengan. Aku diam saja. Tak menolak apalagi berontak. Aku justru menikmatinya.
Sampai di kantin, Ditya menarikkan kursi untukku. Aku duduk. Merasa tersanjung. Ditya memang sangat menghargai perempuan. Kegantengannya sangat diimbangi dengan kecerdasan otak dan batinnya. Tak heran kalu aku punya banyak saingan.
Tak menyesal aku mengagumi Ditya. Bahkan kini rasa kagum itu mulai berubah menjadi rasa sayang karena seringnya kuhabiskan waktuku bersamanya.
Semangkuk bakso terhidang di hadapan kami. Kami memang sepakat sarapan dengan menu yang sama, makanan favorit kami berdua.
“Ayo makan,” ajakku kepada Ditya.
Ditya tersenyum menatapku. Hatiku semakin meleleh melihat senyumannya.
*****
Aku tercekat ketika malam minggu tahu-tahu Ditya sudah duduk di teras rumahku. Setelah ngobrol ngetan-ngulon, sampailah kami pada pembicaraan yang sesungguhnya.
“Fre, makasih ya beberapa hari ini kamu udah mau menghabiskan waktumu bersamaku. Aku harus bisa mulai menunjukkan perasaanku selama ini sama kamu.”
“Maksud kamu?”
Ditya mangambil kedua tanganku. “Freya, sejak kita tak sengaja bertemu di pos satpam, saat kita sama-sama telat enam bulan  yang lalu, aku mulai sering merasakan hal yang sebelumnya tak pernah kurasakan begitu kuat. Aku seneng banget saat aku bisa berjalan berdua denganmu waktu itu, meski itu juga hanya sebuah keb etulan.”
Ditya menghentikan ucapannya. Terlihat sedang berusaha mengumpulkan kekuatannya untuk kembali berucap. Aku hanya diam. Menyadari keadaannya dan siap mendengar kalimat selanjutnya.
“Aku cinta sama kamu, Fre. Kedekatan kita akhir-akhir ini semakin meyakinkan perasaanku ini. Aku tak ingin kebersamaan kita berakhir. Aku ingin selamanya kamu menemaniku.”
Oh, my God... Oh, my god… ini benar-benar sebuah anugerah. Ditya menyatakan cintanya padaku. Aku nyaris tak mempercayai pendengaranku sendiri. Semoga ini bukan mimpi.
“Apa jawaban kamu untuk pernyataanku tadi?”
Aku mengangguk.
*****
 Awalnya aku tak pernah sekalipun berpikir untuk memiliki Ditya. Hingga usahanya mendekatiku menumbuhkan benih-benih cinta. Dan kini aku semakin menyadari dan merasakan bahwa ternyata aku sangat membutuhannya.
Sejak kita jadian, kami semakin dekat. Sering berbagi cerita. Sejak itu juga, aku baru tahu kalau Ditya adalah pribadi yang usil banget. Jika sedang asyik menikmati celotehku yang ramai, dia bilang bibirku kayak karet…, ngomel melulu. Ia tidak akan berhenti mengusiliku sampai mendapati wajahku saat marah dan kesal. Dan pada akhirnya akan ku layangkan pukulan-pukulan kecil ke arah bahunya. Namun, tak bisa kupungkiri kalau justru keusilannyalah yang selalu membuatku kangen.
*****
Setiap hari kami pulang sekolah bersama menyusuri sepanjang jalanan kota yang begitu ramai layaknya hari ini. Sepanjang perjalanan aku merasakan getarannya. Kami belok ke sebuah tempat di mana di situ kami sering berbagi cerita.
Ditya menautkan tangannya ke tanganku. Jemarinya mengalirkan kehangatan dan kelembutan hatinya. “Aku mau kuliah di Surabaya,” kata Ditya membuka percakapan.
“Aku bakal nungguin kamu, Dit.”
Ditya tersenyum. Matanya sedih. Perpisahan di depan mata.
“Freya, aku sayang banget sama kamu,” ujarnya sambil mengelus poniku.
“Romantis banget. Nggak nyangka kamu bisa romantis gini ke aku,” kilahku dengan wajah hangat.
“Nggak ada yang nggak mungkin ku lakuin untuk cewek yang paling ku sayangi. Di hatiku nggak pernah ada cewek lain selain kamu! Sebenarnya aku tak pernah mau berpisah denganmu.”
“Berlebihan. Aku tidak mau masuk perangkap dengan mempercayai kata-katamu. Toh kamu nggak pernah bersikap kayak gini setelah kita jadian. Kamu lebih sering mengusiliku sampai membuatku kesal!” sifat usilku terusik. Aku ingin menggodainya.
Ditya tertawa. Tapi kelihatannya tidak berminat meladeni ulahku yang sengaja mengundang perdebatan. “Jangan pancing aku…! Aku udah janji nggak akan membuatmu kesal saat ini!”
“Ha? Hanya untuk saat ini?” aku mengernyitkan dahiku tanda protes.
“Iya! Hanya untuk saat ini!” Ditya menjawab tegas, seakan tak melihat tampangku yang mulai cemberut.
Belum sempat kujawab pernyataannya dengan sebuah pukulan seperti yang biasa kulakukan saat aku kesal padanya, ia telah merengkuhku ke dalam pelukannya. Dan aku merasakan, betapa indahnya cinta kami. “Aku akan selalu merindukanmu!”
“Percayalah, aku akan kembali untuk mengambil separuh hatiku yang telah kau bawa,” Ditya semakin erat memelukku. Lebih tepatnya mengunci tanganku. Rupanya ia telah menemukan cara bagaimana meredakan kekesalanku.Y

Tidak ada komentar:

Posting Komentar